SEJARAH PURA TULUK BIYU BATUR
A. PURA
TULUK BIYU (PURA BATUR KANGINAN DULU DAN SEKARANG
Seperti yang telah dikemukakan, bahwa bersamaan
dengan semakin maraknya hidup dan kehidupan beragama pada era sekarang di
kalangan masyarakat umat hindu di Bali pada khusunya, sejalan dengan iklim
kehidupan beragama seperti itu, memang
patut di antisipasi dengan usaha penginformasian, pengkondisian, melalui uasaha
penggalian dan pengungkapan berdasarkan sumber-sumber yang komperehensip oleh
pihak-pihak instansi, badan, majelis yang berwenang dan berkompeten. Menimak
kenyataan proses iklim kehidupan keagamaan yang seperti ini usaha yang telah di
kemukakan itu memang telah di rintis sejak dulu walaupun di akui atau tidak,
agak terlambat. Tetapi selaras dengan ajaran sanata dharma itu sendiri , usaha
mulia seperti itu, tidak ada terlambatnya. Karena sejak antara tahu 1960-1970,
penginformasian dan pengkondisian tentang aspek-aspek agama, penerbitan brosur
agama, walaupun setensilan saja , oleh instansi dan majelis yang terkaiy,
bersama-sama dengan para pemuka agama hindu dan para prajuru adat, di desa-desa
adat bali. Para tenaga penyuluh agama hindu waktu itu, atau sejenis
dharmadhuta pada era sekarang, datang
dan memondok di desa-desa adat di Bali. Para tenaga penyuluh agama hindu ini
yang pada umumnya berasal dari guru-guru daerah, betul-betul melakukan pengabdian
tanpa honor, tanpa SPJ, seperti galibnya pelaksanaan penyuluhan agama hindu
pada era sekarang. Konsumsi para penyuluh agama hindu ini pun selama
pelaksanaan Penyuluhan Agama Pangasraman
di salah satu Desa Adat di Bali., pada umumnya diurus oleh Bendesa Adat
bersangkutan, yang sumbernya secara gotong royong berasal dari Krama Desa Adat
yang bersangkutan. Peserta penyuluhan agama hindu pada waktu itu pada umumnya
adalah para sesepuh desa adat yang terdiri dari para prajuru desa adat, para
pemangku dan fungsionaris agama lainnya,
seperti Sangging, Undari, Manchagra, Juru Gambel, Pragina, Tukang Ebat,
sehingga materi penyuluh agama, walaupun hanya merupakan hasil usaha sendiri
cara tenaga penyuluh agama sendiri pada waktu, dengan munuh sana, munuh sini dari
para Wiku, Sang Wikan sane sampun tasak masasatrra bahkan dari peserta
penyuluhan itu sendiri, yakni para pemangku yang hadir dalam pelaksanaan
penyuluhan pengasraman pada waktu itu. sehingga materi yang diungkapkan dan
dijabarkan pada waktu itu, menjadi pas dengan sikap hidup orang bali, saat
nyanggra miwah midabdabin pakibeh pamargi ring desa pekraman. Pelaksanaan
penyuluhan agama pengasraman pada waktu itu semakin tambah pas lagi, karena
dengan sistem dan metode penyuluhan agama yang telah di kemumukan, terjadialah
komunikasi dua arah antara tenaga penyuluh dengan peserta penyuluh pengasraman
sehingga terjadi usaha saling mengisi. Lama-kelamaan dengan menggunakan sistem
dan methode seperti itu para tenaga penyuluh menjadi semakin kaya pengetahuan
karena melalui dharmatula, didapatkan pelaksanaan hidup dan kehidupan beragama
yang betul-betul berdasarkan Adagium desa, kala, patra dan negara mawa tata
serta, serta desa mawa cara. Sehingga melalui pendalaman materi-materi yang
telah di dapatkan di lapangan dengan komparatif study melalui berbagai
litelatur keagamaan, terutama yang bersumber kepada konsep ajaran agama seperti
yang tertulis pada rontal;-rontal Weda, yakni Mantra, Puja, Sthawa, dan
masalah-masalah pamuput upacara. Termasuk pula mempelajari rontal-rontal agama
, yang memuat tentang hukum-hukum agama hindu (Dharmasastra) dan ajaran tata
susila agama hindu. Yang masih selaras,
atau sekaligus untuk lebih memantapkan dan mematangkan pengetahuan dan
penguasaan materi agama bagi para penyuluh itu, mereka juga mempelajari
rontal-rontal wariga, yang memuat tentang astrologi (ilmu perbintangan), tutur,
kandha, usada, dll.
Yang tak kalah pentingnya di
pelajari adalah rontal-rontakl itihasa, yang sebenarnya tergolong Upaweda, yang
juga di sebut Weda Pwmbantu atau Weda Tambahan, yang temasuk sumber ajaran ini
adalah Saptakanda Ramayana. Sang Hyang Astadasaparwa, berbagai visi dan versi
rontal-rontal Siwagama, yang secar pantheon, banyak mengungkapkan cerita-cerita
dewa-dewa di khayangan (sorga). Sistem dan method pengungkapannya, di samping
banyak yang berbentuk prosa. Tetapi lebih dominan dalam bentuk kakawin (sekar
gede), kidung sekar madya, geguritan (sekar alit), bahkan khusus untukporsi
anak-anak banyak juga sistem method penyampainnya dalam bentuk sekar (tembang)
rare atau tembang jejangeran, juga untuk memperkaya penguasaan materi ajaran
agama hindu, para penyuluh juga banyak mempelajari Usana, Purana, (bukan pure
puranic), yang berarti cerita-cerita lama, yang pada umumnya secara phanteon,
hampir dekat isinya dengan berbagai visi dan versi rontal Siwagama yang telah
di kemukakan, yakni tentang adisrsti (cipta, babad, yang oleh para ahli dapat
pula di kemukakan sebagai sumber sejarah dan bishama-bhisama, walau pun
pengungkapan, kajian dan analisinya harus lebih berhati-hati kalau di
bandingkan dengan meniti dan berpijak kepada sumber prasasti (tamra prasasti),
yang merupakan data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran
sejarahnya.
Selanjutnya untuk lebih melengkapi
dan memperluas penguasaan materi ajaran agama hindu, para penyuluh juga banyak
mempelajati berbagai versi dan visi cerita-cerita binatang yang bersumber dari
cerita-cerita Tantrikamandhaka, yang bersumber dari cerita-cerita Hitopadesa
atau Pancatantra. Dari Bharatawarsa (India). Cerita-cerita sejenis ini memberi
tuntunan wiweka, mengungkap tingkah laku yang tergolong baik, atau sebaliknya
buruk, secara Metaforis, yang di perankan olah binatang-binatang atau ada
kalanya langsung oleh manusia itu sendiri. termasuk juga yang tergolong sumber
ini adalah cerita rakyat, legenda, dan satwa-satwa di Bali, yang di setiap
daerah bekas Asranagara ini, atau di berbagai desa-desa Adat di bali, selalu
memiliki khazanah satua bali yang khas dan unik, yang belum tentu kita dapat
ketemukan di daerah bekas Astanagara lainnya, atau di desa Adat lainnya.
Dalam usaha untuk lebih meningkatkan
lagi informasi dan pengkondisian keagamaan Hindu di Desa-Desa adat di bali,
para petugas penyuluh agama telah mulai merasakan bahwa di kalangan masyarakat
umat beragama Hindu di Desa Adat masing-masing, telah mulai tumbuh dan
berkembang wawasan keagamaan, dan mengetahui diri mereka adalah sebagai
penganut agama hindu atau sanata dharma. Dalam penunaian ibadah agam , mereka
tidak lagi hanya terpaku oleh tradisi-tradisi dan dresta-dresta setempat saja,
tetapi telah mulai pula mengetahui konsep ajaran trigama, (igama, agama dan
ugama). Mereka mulai mengetahui eksistensi, kedudukan dan peranan para
fungsionaris,dalam pranata sosial mereka, yang disebut Desa Adat itu. selaras
dengan perkembangan ini, masyarakat umat hindu pun tidak mau lagi menerima
sistem dan metode penyuluhan agama, seperti pada mulanya. Mereka mulai kritis
menanyakan aspek-aspek kehidupan beragama, saat melakukan ibadah agama. Mereka
tidak mau lagi menunaikan ibadah agama hanya nyait-metanding dan maebat saja.
Mereka mulai bertanya apa yang mereka lakukan itu, apa sasaran, tujuan atau
goaisnya.
Selaras dengan perkembangan itu,
maka para tenaga penyuluh agama hindu, tidak cukup hanya menguasai materi agama
hindu saja. Mereka harus menunjang pula, materi pengetahuan agama yang telah
dikuasainya dengan berbagi ilmu sosial, seperti ilmu komunikasi, sejarah,
arkeologi, anthropilogi, ilmu kemasyarakatan, dan berbagai cabang kesenian,
terutama yang menjadi unsur persembahan dan pemujaan dalam tata upacara,
terutama unsur seni yang terangkum dan di sebut pancapagendha yakni, seni
sastra, seni vocal, seni instrumen, seni gerak dan seni rupa. Lebih-lebih
pengetahuan seni rupa, karena dari seni rupa ini akan terungkapkan berbagai
nyasa agama hindu yang kaya, dalam dan konsetual dengan konsep Dewawigraha,
seperti yang di kemukakan dalam Isopanishad.
Dalam periode selanjutnya, antara
tahun 1975-2990, informasi dan pengembangn agama hindu bagi masyarakat umat
hindu di lingkungan Desa Adat masing-masing, tidak lagi hanya bersifat
informasi dan pengkondisian, tetapi sudah mulai mengarah ke peningkatan dan
pendalaman aspek-aspek terhadap ajaran agama hindu itu sendiri. dalam kegiatan penyuluhanagama
di desa-desa adat bali, para audience tidak lagi hanya sebagai pendengar yang
baik, mendengarkan dan menyimak message yang di sampaikan oleh komunikator,
penyuluh agama itu sendiri, masyarakat audience atau komunikan mulai
mengembangkan sistem dharmatula dalam penyuluhan yang dilaksanakan di suatu
tempat, para komunikan, akan menanyakan apa saja tentang topik keagamaan yang
dijadikan banteng dharmawacana pada saat itu. sehingga menyimak kenyataan itu,
pada era pendalaman dan pengungkapan seorang komunikator harus betul-betul siap
dan menyiapkan cirri pada waktu memberikan penyuluhan. Sistem dan metode
penyampaian materi agama pun, tidak lagi diterima oleh masyarakat, kalau tidak
menggunakan sistem dan method e ilmiah. Hal ini terjadi terutama di kalangan
generasi muda hindu dan kalangan intelektual Hindu.
Kenyataan ini pun merupakan suatu PR
baru bagi para penyuluh agama. Bayangkan, betapa sulitnya mengungkapkan sanata
dharma (agama,menurut istilah ilmu dari dunia barat) yang abstrak, niskala,
menjadi gambling, logis, dan mudah diterima akal sehat. Kenyataan dan
permasalahan yang mulai berkembang ini pun, merupakan tantngan baru bagi para
penyuluh agama. Satu-satu jalan, adalah harus lebih banyak belajar agama, dan
ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai penunjang, agar dapat digali dan
ditumbuhkembangkan usaha mengungkapkan agama melalui sistem dan metode ilmu,
sehingga pengungkapan dan penjabaran materi agama, menjadi menarik dan dapat di
terima oleh semua lapisan masyarakat, terutama oleh kalangan generasi muda yang
telah menerima pendidikan agama sejak dari bangku Taman kanak-kanak, sampai
perguruan tinggi.
Peningkatan dan pengembangan wawasan
tentang agama hindu, termasuk kemarakan hidup dan kehidupan agama pada era ini,
di tandai dengan seiringnya diadakan seminar-seminar tentang agama hindu, dalam
berbagai aspeknya, oleh berbagai pihak dan kelompok.
Usaha pengembangan, peningkatan dan
pendalaman tentang aspek-aspek hidup dan kehidupan agama hindu, tidak hanya di
bahas dalam kegiatan seminar dan sejenisnya saja,tetapi juga diejawantankan
dalam aspek lainnya, seperti membangun dan memugar bangunan pelinggih pura-pura
yang telah rusak di makan usia, termasuk persembahan dan pemujaan mulai dari
acipanyabran, pujawali (pawedalan) sampai persembahan dan pemujaan Karya
tingkat tertentu. Mulai dari Madudus Alit, Madudus Agung, Ngusabha Desa dan
Ngusabha Nini, sampai berbagai ngusabha.
Terlepas dari usaha yang telah di
kemukakan, usaha pengembangan, peningkatan dan pendalaman aspek-aspek ajaran
dan tata kehidupan masyarakat umat hindu dalam periode 1975-1990 menjelang
akhir abad XX ini, kalau di simak dan dikaji, sebenarnya telah terwujud usaha
yang berkeseimbangan, berkeharmonisan, dan berkeselarasan., pengembangan,
peningkatan, pendalaman hakekat ajaran agama hindu (sanata dharma), melalui
berbagai usaha yang telah dikemukakan, sebenarnya baru merupakan satu usaha saja
yakni menekuni ajaran-ajaran sastra agama saja. Tetapi dengan dilaksanakannya
kegiatan pembangunan dan pemugaran pura-pura, yang di ikuti dengan persembahan
dan pemujaan berbagai tingkatan upacara, usaha itu sebenarnya telah menjadi
klop dan kompak., seperti telah dikemukakan, merupakan usaha untuk manunaikan
swadharma agama seutuhnya, yang berkeselarasan, berkesinambungan dan
berkeharmonisan antara unsur dan struktur kerangak agama hindu yakni aspek
ajaran filsafat (tatwa), tata susila, dan upacara.
Selaku usaha untuk meluruskan sikap
perilaku fanatic sempit dan terlalu integral kehidupan beragama, khususnya
konstektual dalam pembangunan di Bidang Agama (dalam berbagai aspeknya) seperti
telah di kemukakan, ada beberapa jalan dan sistem yang dapat di upayakan dan di
tempuh, oleh pihak-pihak berwenang dan berkompeten. Yang pertama berusaha untuk
menyelusuri eksistensi, kedudukan dan fungsi suatu pura,apakah status dan kedudukan
sebagai Dang Khayangan, Sad Khayangan, Khayangan Jagat, Rwabhineda, Punarbhawa,
atau pun pura-pura yang tergolong untuk menghormati dan memuliakan guru-guru
suci agama hindu, yang telah berjasa pada jamannya, untuk membina dan
mengembangkan agama hindu. Termasuk usha menggali sumber-sumber sejarah pura
yang bersangkutan, berdasarkan data yang ada, yakni Lingga prasasti, Tamru
Prasasti, dan Ripta prasasti. Sumber-sumber sejarah suatu pura dari lingga
prasasti adalah dengan menyelidiki batu-batu bertulis . sumber-sumber sejarah
suatu pura dari lingga prasasti dan ripta prasasti, yang di tulis dalam
berbagai rontal Pamancangah, rontal-rontal babad, rontal-rontal bhisama dan
paswara. Dan yang khusus mengungkapkan eksistensi asal- usul atau kalau boleh
dikatakan sejarah pura-pura, termasuk kedudukan dan fungsi pura-pura itu adalah
berbagai rontal Usana dan Purana ini, disamping banyak mengungkapkan asal-usul
suatu pura, terutama pura-pura Dang Khayangan, SadKhayangan dan pura-pura yang
memiliki konstektual dengan perjalanan suci dharma yatra dan tirthayatra para
Wiku pada jamannya, banyak pula yang mengungkapkan hari Suohadhiwasa pawedalan
atau pujawali, Mpu Lutuk babantenan, termasuk Istadewata Hyang Widhi, yang
berparhyangan atau berstana di suatu pura. Walaupun pengungkapan Abhiseka
Istadewata di suatu pura sering di ungkapkan dengan bahasa domestic atau
penghayatan agama Immanent.
Contohnya, seperti pengungkapan
abhisseka Istadewata yang berparhyangan di Pura Tuluk Bitu. Di samping ada
padmasana sebagai sthana Hyang Widhi, tetapi pengungkapan Abhiseka istadewata
dewa-dewa yang berparhyangan di berbagai pelinggih gedong, dan meru-meru di
Pura Tuluk Biyu (pura batur kanginan). Kecenderungannya adalah diungkapkan
dengan bahasa domestic dan penghayatan agama immanent, seperti di puncak Gunung
Tuluk Biyu, adalah sthana (parhyangan, Ida bhatara-bhatari Shakti Tuluk Biyu.
Atau dalam bahasa untuk lebih menghormati atau lebih memfokuskan pemujaan
shakti, dikatakan sthana (parhyangan) Ida Bhatara-bhatari Mas Tukuk Biyu.
Padahal berdasarkanTamra Prasasti yang di sunggung dan menjadi Druwe Karas Pura
Tuluk Biyu. (pura Batur kanginan) sudah jelas dikemukakan di sana, yang
bersthana di puncak Gunung Tuluk Biyu atau pura penatarannya, yakni pura Tuluk
Biyu itu sendiri adalah bhatari-bhatari Tuluk
Biyu., yang masih berkecenderungan pengungkapan AbhisekaNya dalam bahasa
domestic dan penghayatan agama Ummanen. Padahal dalam kajian, yang
berkecenderungan berpegang dan meniti sumber-sumber sastra lainnya, seperti
Upaweda, etrutama dalam konsep Dasanama, bhatara-bhatari Tulik Biyu itu adalah
tiada lain Siwa Parwateswara (Siwa Raja Gunung) dengan saktinya, Parwati Dewi
(Putri Gunung). Demikian pula selaras dengan konsep Dasanama ini, siwa Parwateswara
ini, sering juga di kemukakan dalam bahasa Jawa Kuna, sebagai Siwa Girinatha,
yang sama artinya, yakni Siwa Raja Gunung.
Sangat menarik lagi, dalam usaha
mengungkapkan Shakta dan Shakti, seperti yang di kemukakan dalam konsep ajaran
agama Rwabhineda yang berkecenderungan bersifat Tantris, Meru Tumpang Siya di
Pura Tuluk Biyu (pura batue kanginanan), disebut sebagai parhyangan Bhatara
Shakti Puri Kaleran. Sedangkan Meru Tumpang Pitu, dikemukakan sebagai
parhyangan (sthana) Ida Bhatara Shakti Kelodan. Kalau kita simak dan kaji
sumber-sumber tatwa (filsafat) yang telah dikemukakan dengan mengambil banding
sumber-sumber Tamra Prarasati yang di sungsung di Pura Tuluk Biyu, termasuk
juga kalau di bandingkan dengan beberapa rontal Usana dan Purana, di duga yang
bersthana di Meru Tumpang Siya, adalah Dewa Siwa sendiri, (Siwa Parwatwswara,
Siwa Girinatha), yang bersthana di Puncak Gunung Tuluk Biyu. Demikian pula,
dikemukakan bahwa Meru Tumpang Pitu adalah sthana (parhyangan) Bhatara Sakti
Puri Kelodan Tuluk Biyu. Di balik yang tersurat dakam ungkapan Dasanama yang
berkecenderungan dengan bahasa domestic dan penghayatan agama Mimanent it,
kalau kita berpijak dan meniti konsep ajaran agama Rwabhinneda, di duga yang
bersthana di Meru Tumpang Pitu, adalah shakti Siwa Parwateswara, yakni Parwati
Dewi. Mash banyak sekali, abhiseka Dewa-dewi, yang berkenderungannya
diungkapkan dalam bahasa domestic dan penghayatan agama immanent, bukan hanya
Pura Tuluk Biyu saja, tetapi masih umum di Bali, sehingga ada ungkapan abhiseka
dewa-dewi, Ratu Bagus, Ratu Nyoman, Ratu Mas Ngolet, Ratu Mas Maketel, Ratu Mas
Maketeg, Ratu Lingsir, termasuk ada juga ungkapan Dewa Nyoman, Dewa Made, Pura
Batan Bingin, Pura Batan Ancak, Pura Batan Bunut, Pura Batan Kresek, dan
terlalu banyak kalau diungkapkan contoh-contoh pengungkapan dan penghayatan
aspek-aspek keagamaaan dengan bahasa domestic den penghayatan bahasa Immanent.
Kembali kepada skurasi sejarah pada
sumber Tamra prasasti, para ahli yang membidangi permasalahan itu, pada umumnya
Tamra Prasasti sebagai sumber sejarah memuat data-data pelaku sejarah pada saat
itu, antara lain raja-raja yang berkuasa. Pembesar kerajaan, para Wiku,
pejabat-pejabat desa, keterngan-keterangan berbagi aspek kehidupan sosial,
seperti hukum, sistem kemasyarakatan, sistem kehidupan agama, adat dan budaya,
termasuk `sistem pemerintahan, perekonomian, perpajakan dan lain-lain. kita
sangat angayubagya, karena dalam usaha menulis sejarah, status dan kedudukan,
istadewata (prabhawa) Hyang Widhi yang berparhyangan atau bersthana di Pura
Tuluk Biyu (Pura Batur Kanginan), masih dapat meniti akurasi data sejarah, yang
bersumber dari 21 lembar Tamra Prasasti, yang tersimpan dan menjadi druwe karas
Pura Tuluk Biyu, di samping druwe-druwe pratima lain yang terpenting arca emas
Ardhanareswari Siwa- Parwathi, arca Singa Tiongkok yang berglasur warna merah
yang sangat indahnya,yang dalam penelitian dan study awal para arkeolog,
diklasifikasikan berasal dari zaman kejayaan Dinasty Ming, disekitar Abad XIV
masehi. Di samping itu, masih dalam usaha untuk mengungkapkan kedudukan dan
fungsi Pura Tuluk Biyu, akan tetap juga di pedoman sumber-sumber Ripta
Prasasti, seperti beberapa babad, usana dan purana. Alasannya, saat menunaikan
ibadah agama pada umumnya di bali, karena kita tidak selalu menggunakan pikiran
logic saja, tidak lagi namanya agama. Harus pelaksanaan tata kehidupan beragama
dalam berbagai aspeknya, didukung pula oleh Pangrasa Agama, sehingga terwujud
keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan, antara Sakala dan Niskala. Karena
pikiran manusia pada umumnya adalah sangat terbatas untuk mengetahui,
menghayati, kemahaan, dan serba nis dan nir Hyang Widhi dengan Prabhawa
Astaaiswaryanya, delapan sifat kemahakuasaan Hyang Widhi, Yakni:
1.
Anima, sifat Hyang Widhi yang amat
halus dan peka
2.
Laghima, sifat Hyang Widhi, yang maha
ringan,(lebih ringan dari ether)
3.
Mahima, sifat Hyang Widhi yang maha
besar, lebih besar dari yang naha besar.
4.
Prapti, sifat Hyang Widhi, yang
dapat mencapai kemana saja.
5.Prakamya, sifat Hyang Widhi, segala kehendaknya mesti
tercapai.
6.
Isitwa, sifat Hyang Widhi merajai
segala yang kuasa.
7.
Wasitwa, sifat Hyang Widhi yang
berkuasa atas yang berkuasa.
8.Yatrakamawasayitwa, sifat Hyang Widhi yang kodratnya tidak
ada yang melawan.
Karena kedelapan sifat-sifat
kemahaan Hyang Widhi yang Transedental itu tidak selalu dapat di temukan oleh
kemampuan daya pikiran umat manusia, hanya dasar keyakinan saja yang digunakan
dalam usaha mengetahui dan menghayati keberadaan Hyang Widhi itu, selaras
dengan konsep dan tuntunan ajara Pancasradha, terutama Widhisradha khususnya.
Di
ungkapkan dengan bahasa domestic seperti di gunung Tuluk kayangan Ida
Bathara-Bathari Mas Tuluk Biyu. Pada hal berdsarkan tatram prasasti yang disungsung menjadi druwe karcis pura Tuluk Biyu (Pura Batur Kanginan) sudah jelas
dikemukakan disana, yang bershatha di
Pura Puncak gunung Tuluk Biyu, atau Pura panataranny, yakni pura Tuluk Biyu itu
sendiri adalah batara-bathari pula teluk biyu, yang masih berkecenderungan
pengungkapan abhisekaNya dalam bahasa domestic dan pengayatan agama immament.
Pada hal dalam kajian, yang berkecenderungan berpegangan dan meniti
sumber-sumber sastra lainnya, seperti Siwa
Parateswara (Siwa Raja Gunung) dengan sakitnya, Parwati Dewi (Putri Gunung). Demikianlah pula selaras dngan konses dasanama ini,Siwa Paramateswara ini, sering juga dikemukakan dalam bahasa Jawa Kuna,
sebagai Siwa Girinatha, yang sama artinya, yakni Siwa Raja Gunung.
Sangat menarik lagi dalam usaha mengungkapkan shaka dan shakti, seperti yang diungkapkan dalamkonsep ajaran agama
Rwabinedha yang berkecenderrungan bersifat Tantri,
Meru tumpengSiya di Pura Tuluk Biyu
(Pura Batur Kanginan) , disebut sebagai parhayangn (sthana) Ida Bethara Sakti
Kelodan. Kalau tidak simak dari sumber-sumber tauluk Tattwa (Filsafat) yang
telah dikemukakan dengan mengambil banding sumber-sumber tattwam prasasti yang
disungsung di Pura Tuluk Biyu (Pura Batur Kanginan) , tarmasuk juga
kalau dibandingkan dengan berapa lontar
usada dan purana. Diduga yang
bersthana di Meru Tumpang Siya, adalah Dewa Siwa sendiri, (Siwa Parwateswara,
Siwa Girinatha), yang bersthana di Puncak Gunung Tuluk Biyu. Demikian pula,
dikemukakan bahwa Meru Tumpang Pitu,
adalah sthana (parhyangan) Bhatara Sakti Puri Kelodan Tuluk Biyu. Di
balik yang tersurat dalam ungkapan Dasanama
yang berkecenderungan dengan bahasa domestic dan penghayatan agama mimament
itu, kalau kita berpijak dan meniti konsep ajaran agama Rwabinedha, shakta dan sakti , yang berkecenderungan bersifat
Tantris itu diduga berthana di Meru Tumpeng Pitu, adalah shakti Siwa
Parateswara, yakni Parwati Dewi. Masih banyak sekali, absiseka Dewa-Dewi, yang
berkecenderungannya diungkapkan dalam bahasa domestic dan penghayatan agama immanent, bukan hanya di Pura Teluk Biyu
saja, tetapi masih umum di Bali, sehingga ada ungkapan abhiseka Dewa-Dewi Ratu
Bagus, Ratu Nyoman, RatuMas Ngolet,Ratu Mas Meketel, Ratu Mas Maketeg,Ratu
Lingsir,termasuk ada juga ungkapan Dewa
Nyoman, Dewa Made, Pura Batan Bingin , Pura Batan Ancak, Pura Eatan Bunut, Pura
Batan kresek, dan terlalu banyak kalau bahasa dosmetik dan penghayatan bahasa immament.
Dalam suatu pura dalam karya tulis, penulis, hrus
berhati-hati. Karena permasalahan yang diungkap adalah merupakan permasalahan
yang sangat peka. Sedikit keliru, akan dapat meimbulkan permasalahan yang
sebenarnya menyimpang dan tidak diharapkan, selaras dengan goals penulisan berbagai aspek suatu Pura atau Pura yang
bersangkutan . Oleh karena itu penulis dipercayai menulis berbagai aspek-aspek
keagamaan disuatu pura, harus sanagat hati-hati, berusaha melakukan sumber
pembnding. Dan yang paling penting adalah sama sekali melepaskan vested interes, disamping dilandsi
dengan wawancara dan sikap serta prilaku semangat pengabdian yang tulus, dan
persembahan janayajnya , yang
merupakan pengejawatahan maparodharma dalam
hidup dan kehidupan ini.
Selain dari pada itu, secara ilmu pengetahuan,
berpijak dan meniti dari ketiga prasasti yang dikemukakan, rupanya tamra
prasasti, adalah merupakan sumbr]er sejarah yang paling autentik, karena tamtra prasasti adalah anugrah Raja yang
kuasa atau pembesar istana yang berkuasa pada jamannya, kepada masyarakat,
bahkan kepada perseorangan. Jadi, akurasi data yang ditulis dalam tamtra
prasasti itu benar-benar terjadi dan berlangsung pada jaman itu. Juga Sang
Citralekha, (sang anurat prasati), apakah dalam bentuk dan wujud linggprasasti
atau tamtra prasasti, benar-benar mengetahui
dan dapat menyaksikan ecara langsung permasalahan atau hal hal yang
dituliskannya, dalam prasasti itu. Berbeda halnya kalau semata-mata menggunakan
babad, usaha, purana dalam usaha
menulis sejajah pura-pura. Para ahli secara system dan metode penulisan sejarah
pura , menurutnya kadang-kadang apa yang ditulis adalah kejadian kejadian kuno
atau lampau.
Kembali kepada akutansi data sejarah pada sumber tamtra prasasti, pada umumnya tamtra
prasasti sebagai sumber sejarah bermuat data-data pelaku sejarah pada saat itu,
antara lain raja-raja yang berkuasa,
pembesr-pembesar kerajaan, para wiku, penjaabat-penjabat desa,
keterangan-keterangan berbagai aspek kehidupan social, seperti hukum, sistem
kemasyarakatan, sistem kehidupan agama, adat dan budaya, termasuk sistem
pemerintah perekonomian, perpajakan dan la in-lain. Kita sangat angayubagya,
karena dalam usaha penulisan sejarah, status dan kedudukan, istadewata
(prabhawa) Hyang Widhi yang berparhyangan atau besthana di Pura Teluk Biyu
(pura batur kanginan), masih dapat meniti akurasi data sejarah yang bersumber
dari21 lembar tamtra prasasti yang
tersimpan dan menjadi druwen keras Pura Teluk Biyu, di samping
druwe-druwe pratima lain yang terpenting arca emas ardhanareswari siwa-Parwati,
arca Singa Tiongkok yang berlangsung warna merah yang sangat indahnya kn
berasal dari jaman kejayaan dynasti Ming, di sekitar Abad XIV masehi. Di
samping itu, masih dalam usaha untuk mengungkapkan kedududkan dan funsi Pura
Tuluk Biyu, akan tetap juga dipedomkan sumber-sumber ripta prasasti, seperti beberapa babad, usaha dan purana.
Alasannya sanagat menunaikan ibadah agama pada umumnya di Bali, karena kita tidak
lagi namanya agama. Harus pelaksanaan
tata kehidupan beragama dalam berbagai aspeknya didukung pulaoleh pangrasa
agama , sehingga terwujud keselarasan,
keseimbangan dan keharmonisan, antara
skala dan niskala. Karena pikiran manusia pada umumnya adalah sangat
terbatas untuk mengetahui, menghayati, kemahaman dan serba nis dan nir Hyang
Widhi, dengan prabhawa astaaiswaryanya, dengan sifat kemahakuasaan Hyang Widhi
, yakni:
1. Anima,
sifat Hyang Widhi yang amat halus dan peka.
2. Laghima,
sifat Hyang Widhi, yang maha ringan (lebih rigan dari ether).
3. Mahima,
sifat Hyang Widhi yang Maha besar, lebih besar dari yang maha besar.
4. Prapti
, sifat Hyang Widhi yang dapat mencapai kemana saja.
5. Prakamya,
sifat Hyang Widhi segala kehendaknya mesti tercapai.
6. Isitwa,
sifat Hyang Widhi segala kehendaknya mesti tercapai.
7. Wasitwa
sifat sifat Hyang Widhi yang berkuasa atas yang berkuasa.
8. Yatrakamawasayita,
sifat Hyang Widhi yang kodratNya tidak ada yang melawan.
Karena
kedelapan sifat-sifat kemahaan Hyang Widhi (astaaiswara) yang transcendental
itu tidak selalu dapat di temukan oleh kemampuan daya pikiran manusia , hanya
dasar keyakinan saja yang digunakan dalam usaha mengetahui dan menghayati
keberadaan Hyang Widhi itu, selaras dengan konsep dan tuntunan ajaran
Pancasradha, terutama Widhisradhankhususnya. Sama halnya selaras dengan konsep
ini, seperti yang di kemukakan oleh (Gede Pudja, M.A., S.H., ) Dalam bukunya
Agama Hindu, Hindu sebagai agama,bukan hana bersifat dokrinal da dogma
semata-mata. Hindu adalah sebagai agama yang memberi jalan berdasarkan Wahyu
Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), yang sangat ilmiah. Oleh karena itu, agama hindu
dengan kitab sucinya, memang ilmiah , kalau mau mengilmiahka. Hindu juga
merupakan agama yang Niskala kalau kita mau menyakini dogma-dogma yang diajarkan
didalamnya. Tata upacara, saat melakukan persembahan dan pemujaan dalam
pelaksanaan Pancayadnya, yang
merupakan sikap dan prilaku pengejawantahan trinam, pancayadnya, dan panca
sradha, seperti yang telah di kemukakan dapat menumbuhkembangkan rasa agama
yang dalam, yang di dukung oleh situasi lingkungan spiritual seperti pura-pura
yang indah,dengan dudonan trimandalanya, dan tataletak berbagai sadhana
bakti,juga memiliki fungsi dan kedudukan nyas (symbol keagamaan hindu), yang
elaborate. Juga tumbuh berkembangnya rasa agama yang dalam pada waktu melakukan
persembahan dan pemujaan, didukung oleh unsure persembahan pancapagendha yakni
seni sastra, seni vocal (kidung,kekawin,mantra, geguritan) masuk juga kedalam
unsure ini adalah chanda (lagu) saan para pemangku, saat melakukan aktivitas
dan kegiatan sesuai dengan tugas dan kewajibannya . kemudian seni tabuh,seni
tari dan yang terakhir merupakan seni lukis
(rerajahan,sasuratan,tatatahan,gagambaran,ukirukiran) yang selalu sangat
konseptual dengan tattwa, tata susila
dan upacara, walaupun fungsi dan kedudukannya merupkan ornament bangunan
palinggih pura, lukisan parbha, umbul-umbul, kober,ider-ider,laluhur,
lalembung, kobercaru, termasuk rerajahan senjata dewata nawasanga, yang dirajah
pada berbagai tempat upakara sebagai
tempeh,tembog,ngiu,ilih dan terutama di pangendangan panawaratna perlengkapan
upakara arepanan Widhi di depan WikubManggaleng Karya. Rerajahn senjata dwata
nawasangga , yang dilukis pada wadah upakara yang telah dikemukakan, adalah padma anglayang , dengan aksara Yang dan Ing,
wrayang dan atribut dewa siwa , dimdya (tengah). Cakra, dengan aksara Ang,
wayang dan atribut dewa Wisnu,di Uttara (utara) . Trisula dengan Aksara Wang ,
wrayang dan atribut dewa Iswara, di Purwwa (Timur). Dupa dengan Aksara Nang,
Wrayanang dan atribut dewa mahesora, diGeneyan (Tenggara). Danda(Gada), dengan
Aksara Bang, wrayang dan atribut Dewa Brahma, di daksina (selatan). Moksala
(mosala) dengan Aksara Mang, wrayang dan atribut Dewa Rudra (Siwarudra), di
Neriti, (Barat Daya). Nagapasa, dengan Aksara Tong, wryang dan atribut Dewa
Mahadewa (Siwamahadewa) , di pascima (Barat). Angkus, dengan aksara sing,
wrayang dan atribut Dewa Sangkira,
(siwasangkara), di wayabya (Barat Laut).
Seperti telah dikemukakan, demikian elabolaratenya
unsure dan struktur sadhana bakti, dalam persembahan dan pemujaan oleh
prabhakta, (karmamargin dan bhaktimargin), yang mampu menggugah dan menumbuhkan
rasa agama yang mendalam, sebagai penghayatan dan pengamalan ajaran agama
transendetal, tidak akan menggunakan sradhabbhakti se-elaborate itu, karena
kekuatan yoga dan samadhinya, untuk mencari dan mencapai Moksa.
Selanjutnya setelah mengungkapkan latar belakang
kemampuan antara penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang immanert dan
transedental secara umum, seperti yang telah di kemukakan akan digunakan
digunakan juga sebagai pijakan untuk mengungkapkan aspek-aspek eksistensi Pura
Tuluk Biyu (Pura Batu Kanginan)
Dalam Rotal
Kasuma Dewa yang berpetikannya sebagai berikut :
“...sira
Mpu kuturan, ingaranan sire mpu rajakerta, mahyunta angawe parhyangan kabeh,
bhatara ring besakih, bathara ring batumadeg, bathara ring batumanyeneng,
bathara ring pintu aji, bathara ring kadaton, bathara, bathara ring Tuluk Biyu,
....”
Arinya:
“...Beliau
Mpu Kuturan, yang abhiseka Mpu Rajakretha berkeinginan membangun semua pura,
yang awalnya dibawa dari majapahit, semuanya disthatakan di Bali; Bathara
dibesakih, Bthara diBatumadeg Bathara di pintuaji...”
Kalau
dibandingkan dengan pengungkapan tamtram prasasti, keras druwen Ida Bathara di
Tuluk Biyu, yang terdiri dari 21lembar prasasti tembaga itu , yang oleh R.
Goris disebut Batur, Pura Abang. A (goris no 305,) tarihk pendirian Pura Tuluk
Biyu dan pengungkapkan raja mengungkapkan raja pada saat itu mengungkapkan
titik temu.isi pokok Tantra Prasasti di Pura Tuluk Biyu tersebut adalah :
a) Bertarikh
933 Saka (1011 M) atau Penulis : Abad XI M )
b) Menyebut
abhiseka raja, Paduka Sri Dharmamdayana Warmadewa
c) Menggunakan
bahasa dan huruf Jawa Kuno (kawi)
d) Menyebut
daerah, karaman-1 wingkang naru air hawang, (desa pinggir danau di Air Hawang )
e) Menguraikan
masalah pemeliharaan kuda (tongkalik kuda) dan menyebut penjabat tinggi urusan
kuda engan pangkal rakyanasba, bernama Dyan Manjak, (rahkyan, renkayana dalam
bahasaJawa baru, asba:kuda).
f) Menyebut
nama abhiseka (Bathara Kulitbiyu)
Menyebut
kembali titik temu ripta rasasti , Rontal Kusuma Dewa dengan Tamtra
Prasasti
, prasasti Air Hawang dalam konseptualnya tarikh dibangunnya Pura Tuluk Biyu
secara formal semasih Di Desa Air Hawang
di pinggir bagian timur Danau Batur,
dalam kajian Desa alalisis kedua sumber yang diperlukan tersebut sangat jelas
sekali. Jelas Pura Tuluk Biyu dulu, sebelum pindah dan dbangun kembali pada
tahun 1926 di Desa Adat Batur Kalangannya(sekarang), dibangun sekitar abad ke
XI. Termasuk yang memegang hegomoni pada waktu itu adalah Paduka Sri
Dharmmodayana Warmadewa. Yang sangat penting lagi, selaras dengan perkembangan
agama hindu di era sekarang terutama oleh para generasi mud dan kalangan
intelektual pada umumnya, yangbselalu ingin tau, istadewata (prabhawa), Hyang
Widhi di pura , dipura Teluk Biyu, (Pura Teluk Kanginan) yang bersthana
(Parahyangan) adalah Bhatara Kulit Biyu. Disini juga terdapat Prasasti kedua ,
yakni prasasti Er Hawang, yang oleh R. Goris disebut Batur , Pura Abang B, (Goris No. 605) yang isisnya:
a) Bertarikh
1103 Saka (1181 M).
b) Menyebutkan
abhiseka raja Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus Arkajachina........
c) Menggunakan
bahasa Jawa Kuna (Aksara).
d) Menyebut
nama desa er Abang.
e) Menyebut
nama bathara-bathari Pura Teluk Biyu.
f) Berisi
penyelesaian dari pertikan yang timbul antara penduduk-penduduk desa Er Abang dengan
pemerintah sang-admak akmitan-apigajih.r
Desa
Air Hawang pada waktu itu sangat penting, karena selalu mendapat perhati an dari raja-raja dynasti warmadewa
yang memang memegang hegomoni di Balipulinamandala. Isi pokok prsasti Er Abang,
yang bertarikh 1103 saka (1181 M), bahwa dalam kurun waktu 170 tahun telah
terjadi beberapa perubahan nama antara lain Desa Air Hawang, menjadi Desa Er
Abang. Abhiseka Bathata Kulit Biyu, menjadi Bathari Teluk Biyu. Beberapa
perubahan ini perlu diperhatikan, yang berada di Pura Tuluk Biyu (Pura Batur
Kanginan, sekarang) berlokasi di Desa Adat Batur Kalanganyar, kecamatan Kintamani,
Kabupaten Dareah Tingkat II Bangli. Termasuk analisis istadewhata (prabhawa)
Hyang Widhi, yang bersthana di Pura Telduk Biyu, yang sedang melaksanakan
persembahan dan pemujaan Karya Agung Pamungkah, Panyegjeg jagat, panganteg
linggih, Bhakti Pakelem ring segara Danu Batur. Kalau kita berpijak dan meniti
sumber-sumber ripta prasasti, seperti Rontal Usada Bali, Rontal Widhisastra,
Rontal Raja Purana, Rontal Usada Bali , Rontal
Babad Pang masek Kayu Selem, yang mengungkapkan secara pasti fungsi dan
kedudukan pura-pura dang khayangan di Bali. Contohnya, unsure dan struktur Dang
Khayangan diBali, itu buktinya visi dan
versinya berbeda-beda. Terutama pengungkapan visi-versi sadkhyangan di Bali .
contohnya,unsure dan struktur yaitu
Menurut
Rontal Widisastra:
1. Pura
Agung Besakih
2. Pura
Baturhyang
3. Pura
Batukaru
4. Pura
Ujung
5. Pura
Uluwatu
6. Pura
Air Jeruk
Menurut Rontal Rajapurana;
1. Pura
Agung Besakih
2. Pura
Batukaru
3. Pura
Baturhyang
4. Pura
Air Jeruk
5. Pura
Jugul Watukahyangan
6. Pura
Ujung
Menurut Rontal Usada Dewa:
1. Pura
Agung Besakih
2. Pura
Ulun Danu Batur
3. Pura
Kentel Bumi
4. Pura
Pusering Tasik
5. Pura
Tirta Empul
6. Pura
Manik Corong
Menurut Rontal Babad Pasek Kayu Selem:
1. Pura
Ulun Danu Batur
2. Pura
Lempuyang
3. Pura
Watukaru
4. Pura
Beratan
5. Pura
Pejeng
6. Pura
Andakasa
Demikian perbedaan visi dan
versi unsure struktur pura-pura Sadkayangan di Balidwipamandala, menurut ripta
prasasti yang telah dikemukakan. Rupa-rupanya dalam dlam perjalnan sejarah
pemegang hegomoni oleh raja-raja pada zaman Bali Kuna, sampai Zaman Bali Pertengahan visi dan versi pura-pura sSad Khayangan atau
kahyangan jagat pada umumnya berbeda. Pura- pura Sadkhayangan dan Khyangan
jagat pada umumnya diBali dibangun pada Abad ke XI, oleh Mpu Kuturan, yang amat
terkenal dengan penataan desa-desa pekramaan (Desa Adat di Bali), dengan Pura
Khayangan Desa (Pura Kyahyangan Tiga) termasuk Pura Kyahyagan Jagat. Dalam
petikan Rontal Kasuma Dewa, dapat diklarifikasikan bahwa Pura Tuluk Biyu adalah
Pura Kyahyangan Jagat. Dalam Prsasti Er Abang, merupakan Prasasi yang memiliki
huruf terindah yang pernah ditemukan di Bali. Berita Cina menyebutkan
Wu-yuan-lao-wang-chien (Kitab Ming shin). Isi pokoknya:
a) Bertarikh
1036,saka (1384 M)
b) Huruf
dan bahasa Jawa Kuna Majapahit
c) Menyebut
nama abhiseka yang cukup panjang
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa di Zaman itu , Desa Abang dan Pura Teluk Biyunya
sebagai sthana Dewa, di Pura Teluk Biyu
adalah Desa atau Pura yang diurus dan diayomi oleh Raja-raja.
Setelah mengemukakan kajian dan analisis dari sumber
ripta prasasti dan tamtra prasasti yang telah di kemukakan opini dan pernyataan pada era semakin
suburnya pertumbuhan dan perkmbangan agama hindu di kalangan masyarakat yang
belum sepenuhnya menerima ungkapan abhiseka isthadewata Hyang Widhi, dalam
ungkapan domestic yaitu Dewaa-dewi.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita pun akan kembali
menyimak, mempedomani ketiga kelompok akurasi data sejarah yang diungkapkan
dalam hasil study dan penelitian para akhir yang telah membaca ke dua puluh
satu lembar prasasti Pura Tuluk Biyu, yang telah dikemukakan yang bersthata
(berparahyangan) di Pura Tuluk Biyu (Prasasti Air Lawang) atau Bathari Kulit
Biyu, (Prasasti Er Abang). Seperti telah di kemukakan, rupa-rupanya pada era Zaman
Bali Kuna itu, masih juga dipengaruhi pula oleh pengaruhi budaya local, yang
berkecenderungan dipengaruhi pula oleh
pengaruh bahasa domestik dalam penghayatan dan pengalaman ajaran agama yang
immanent, untuk mengungkapkan abhiseka Dewa-dewi, istadewata yang bersthana di
suatu pura.sehingga di Pura Teluk Biyu, yang bersthana di kemukakan, bhatara
Kulit Biyu, selaras dengan nama Gunung( Gunung Tuluk Biyu), yang menjadi sthana
bhatara kulit atau Bhatara Tuluk Biyu akan dimuliakan disana.
Kalau kita kaji dan analisis menurut konsep lingga
acala dalam konstektual dengan konsep filsafat yang Siwaistis, bahwa Dewa Siwa
GiriNatha yang bersthana (Berpharahyangan) di Gunung Teluk Biyu, sekaligus
Teluk Biyu itu adalah lingga acala (lingga yang tak bergerak) itu sendiri,
Nyasa Uma Dewi sendiri. Kalau dibandingkan konsep lingga yonidalam konsep
filsafat yang Siwaistis, yang telah dikemukakan.
Dalam ripte prasasti itu, dikemukakan konsep catur
ranu prahyangan catur dewi di Bali dwipamandala. Rincian masing-masing adalah
sebagai berikut:
1. Danau
Batur, parhyangan (sthana) Bhatari Uma
2. Danau
Buyan, parhyangan (sthana) Bhatari Gangga
3. Danau
Bratan, parhyangan (sthana) Bhatari Lakshmi
4. Danau
Tamblingan, parhyangn (sthana) Bhatari Sri
Dalam sumber ripta prasasti ini jelas dikemukakan
Danau Batur adalah sthana (parhyangan) Bhatari Uma. Bhatari Uma,adalah shakti
Bhatari Siwa. Dalam konsep filsafat Lingga-Yoni, Dewa Siwa adalah diwujudkan
dalam bentuk Lingga, sedangkan Dewi Uma, diwujudkan dalam bentuk yoni. Sehingga
meniti dari konsep ini, gunung Tuluk Biyu adalah lingga acala, nyasa Dewa Siwa
itu sendiri, sedangkan danau Batur, adalah yoni, Nyasa Dewi Uma. Sehingga yang
berparahyangan di Pura Tuluk Biyu,yang duluberlokasi di Desa Air Hawang (Desa
Abang ; Sekarang), adalah Dewa Siwa dengan shaktinya Parwati Dewi atau Uma
Dewi.
Sebenernya, di Pura Tuluk Biyu, masih banyak
disimpan benda-benda arkeologi yang sangat berharga, antara lain arca porselin
(keramik) dari Tiongkok,berwujud seekor binatang ghaib, yang merupai seekor
singa,yang menggunakan Glasur berwarna-warni yang sangat indah,yang di duga
berasal dari zaman Kerajaan Ming, disekitar abad XIV Masehi. Yang amat istimewa
dari temuan arkeologi uarja uter ini, adalah besarnya, sehingga gaungnya pada
waktu dibunyikan dengan menangkap gema ghanta yang sedang diguncang, kedengaran
dengan jelas dan sangat memukau, serta memiliki kekhasan tersendiri.
Namun,
terlepas dari semua itu, selaras dengan goals penulisan buku ini, untuk
mengetahui kedudukan, fungsi dan status Pura Tuluk Biyu sejak dulu dan
sekarang, adalah drue tamra prasasti yang berjumlah 21 lembar, di samping arca
emas Ardhanareswari, Bhatara-Bhatari Tuluk Biyu, yang sebenarnya adalah arca
perwujudan Dewa Siwa dan Parwati Dewi, seperti temuan arca emas di Gemuruh,
Wonosobo, di situs arkeologi, kawasan gunung Adi Hyang di Jawa Tengah. Dengan
mengambil banding sebagai sumber acuan kajian dan analisis dari beberapa ripta prasasti di Bali, akhirnya dapat
di dikemukakan Pura Teluk Biyu, sejak dulu, sejak berlokasi di Desa Air Hawang,
adalah berkedudukan dan berfungsi dan berstatus sebagai khayangan jhagat.
Tetapi dalam era semakin tumbuh suburnya hidup dan
kehidupan beragama serta telah adanya perhatian Pemerintah Daerah, pharabakta
dan yang terpenting oleh Krama Pangemong Pura Tuluk Biyu, perlu diinformasikan
dan diluruskan kedudukannya, fungsi dan status Tuluk Biyu, salah satu khayangan
yang penting di Zaman Bali Kuna. Termasuk pengungkapan kembali istadewata Hyang
Widhi yang berstana di Pura Tuluk Biyu, di balik pengungkapan abhiseka bahasa
domestic, dan penghayatan dan pengalaman agama yang immanent, dengan berpijak
dan meniti pada sumber-sumber tamra prasati.
Tetapi karena permasalahan agama sangat peka, pada
akhirnya dalam usaha meluruskan dan menaruh pada proporsi yang sewajarnya
tentang kedudukan, fungsi dan status Pura Tuluk Biyu dengan berpijak pada kajian-kajian
dan analisis-analisis. Karena kenyataan, secara jujur, perlu di kemukakan,
penetapannya wewenang Instansi, Majelis, badan yang terkait. Sekali pura-pura
di Gianyar.
Berdasarkan kajian dan analisis yang telah di
kemukakan, selaras dengan peran serta masyarakat hindu ikut berpartisipasi
dalam pembangunan di bidang Agama. Sekaligus pula usaha ini, akan menjadi
warisan pada generasi muda, untuk tidak ragu-ragu lagi, pada waktu mamadek,
muspa dan bersembahyang di pura.
Suatu contoh, dengan membaca dengan singkat mengenai
eksistensi Pura Teluk Biyu ini, yang meniti sumber tamra prasasti dan ripta
prasasti dan juga arca emas Ardhaneswari Bhatara-bhatari ri Tuluk Biyu, aka
nada gambaran, bahwa tidak berkelebihan bahwa Pura Teluk Biyu,dulu dan sekarang
merupakan salah satu Pura Khayangan Jhagat di Balipulinamandala, yang bersthana
di Pura Tuluk Biyu adalah Dewa Siwa dan saktinya, Parwati Dewa.
Seperti halnya eksistensi Pura Tuluk Biyu
kecendrungan berlaku adagium trisamaya ini dapat kita simak,yang kehidupan
beberapa aspek sosialnya masih tetap hidup dan berkembang sejak zaman Bali
Kuna, Zaman Bali Pertengahan, termasuk seperti harapan kita bersama dapat
berlanjut sampai era yang akan dating, yang akan dilaksanakan oleh generasi
penerus.
Sehingga tata kehidupan beragama di Bali menjadi
bertambah marak,yang di balikkemarakan itu,merupakan salah satu jalan untuk
pendalaman dan peningkatan pelaksanaan Widhisradha khususnya, di samping
srada-srada yang lain dalam hidup dan kehidupan ini.
Rsi Markhandya Wesnawa dari Gunung
Rawung/Arjawa/Jawa Timur dengan ratusan orang pengikutnya, para wangsa Pasek
Berjo, kedua kalinya ke Bumi Banten Pulina Bali, berdasarkan wahyu merabas /
membabat hutan Pringgo di bawah Gunung Tohlangkir; keberangkatan pertama gagal,
baru sampai di alas/hutan Pringgo sebagian besar pengikutnya tanpa sakit
mendadak mati, tidak berhasil ditolong.
Rsi
Markhandya Wisnawa kembali ke Bumi Banten Pulina Bali, Rsi Markhandya mengusir
bala pengikutnya Hyang Berawi Dawan Bumi Alas Angker waktu di kayu besar
bernama Banaspati dewanya Roh pemakan darah merah dan polo/otak manusia.
Selanjutnya dirikanlah tiga Lingga di bawah kaki Gunung Tohlangkir itulah Tri
Lingga sesudah itu baru boleh hutan Primbo dirabas/di babat “tanam kunyit
keladi di bawah Gunung Agung”.
Setelah
itu tebang hutan alas Mahoni di bawah Gunung Panerejon, Pusertasik Wangun Urip
satukan wangsa Wong Bali Mula dengan wangsa Wong Aga Pasek Berjo dari Jawa yang
juga wangsa padukuhan wong Abang ada di Bumi Banten Pulina Bali. Sesudah
selesai menebang pohon mendirikan periyangan leluhur dan periyangan Gunung
Rawung, para Wong Aga masing-masing sudah menempati tanah pemukiman
berkelompok/ bebanjaran (banjar).
Sebelum
ke pedukuhan alas Mahori lebih dahulu sembahyang semadi di Puncak Gunung
Panerejo/Pusertasik payogan di mata air suci kumkuman kini disebut Desa Kuwun
sedangkan pengikutnya sebagian ditempatkan di alas/hutan Pedukungan Mahori
Bergerak merabas hutan sekitar Pedukuhan Mahori.
Rsi Markhandya Wesnawa beryoga di pasraman
Kuwuh, beranjangsana kearah selatan di pinggir jurang yang ada gua mengeluarkan
air dengan empat mata air disebut Catur Tirta Empahan Nini. Tirta = air,
empehan nini =air susu Ibu Pertiwi, kini disebut Pehbini.dengan empat mata air
padukuhannya disebut padukuhan Catur, Pekraman Catur, Phehbini persemediannya
Rsi Markhandya Wisnawa, aliran air Danu Gunung Lebah.
Pada
hari tertentu Rsi Markandya Wisnawa mendatangkan wong bali mula/bali asli
keturunan Hyang Kamareka dan Ki Poleng asal witang danu Gunung lebah
berdatangan kepedukuhan alas mahori bertemu dengan wong age asal gunung raung
arjawe-jawe, wangsa pasek berjo. Sesudah selesai sembahyang mulai perkenalan
dengan masing-masing lebih dulu menelan beras kuning dan biji ditempelkan di
tengah-tengah dahi perlambang putrid maha siwa pertama ni cantik kuning dewi
uma yang lahir dari tulangnya Hyang Siwa Acintya.
Demikian
dijelaskan oleh Rsi Markandya Wesnawa, kepada wong pemacek Pasek Bali Mula
bersama Wong Aga pemacek Pesek Berjo asal Jawa, untuk melaksanakan
pembabatan/perabasan hutan wilayah hutan Mahori yang di bawah Gunung Panerejon
untuk pemukiman dan lahan pertanian. Pertemuan ini disebutkan seuwak (satu
suara = aklamasi).
Rsi Markhandya Wesnawa menjelaskan menerima pesan
kesan secara langsung dari wong samar orang halus penghuni Pusertasik Bumi
Banten Pulina Bali di Gunung Panerejon alas Pringgo Basukihan, sesudah
ditaburkan beras kuning di sekitar Padukuhan Alas Mahoni orang halus
menjelaskan semua Gunung di Bumi Banten Pulina Bali, adalah tempat beryoga
semedi para Rsi, Empu, Begawan dan para Dewa mohon wahyu kehadapan Hyang Maha
Siwa Achintya untuk kembali menjelma ke bumi ke mayapada.
Isaka 112 wong samar menjelaskan meletusnya gunung
Tabuh Abang kini disebut Gunung Tuluk Biyu dan Gunung Rinjani dengan satu
Gunung , kelima nama gunung :
1. Gunung
Panerejon
2. Gunung
Paser Tasik
3. Gunung
Tegeh Kauripan
4. Gunung
Wangun Urip
5. Gunung
sukawana
Bekas
lubang kepundan disebut Guwa Matangkeb.
Meletusnya
dua gunung Bumi Banten Pulina Bali Menjadi gunung api yang amat besar menjulang
tinggi mencapai angkasa Bumi Babten Pulina Bali dipandang sudah berupa api
berbentuk gunung.
Rsi
Markandya Wesnawa menjelaskan kepada Wong Abanmula Bali Mula agar rajin taat
ngupapira sembayang di Gunung Tampud, Gunung Abang, di bawah Gunung Abang wong
Bali dijadikan oleh Hyang Siwa Pasupati disebut Wong Bali Witang Dhanu. Dari
yoganya Hyang Siwa Pasupati Adanya tirta seperti Banyu Geger/ Air Awang berguna
tirta peanugrahan Siwa Melebur malapetaka surge dan bumi mayapada.
Maka
dari itu Bhatara Narada di utus oleh Bhatara Siwa mencari Tirta Sakthi Banyu
Geger di Mayapada di Gunung Abang, untuk membawa air suci itu dengan buah
pisang emas. Sesudah itu baru boleh disalin dengan tempat bambu gading untuk di
percikan di tempat yang terjadi suatu malapetaka, selanjutnya untuk diri
sendiri. Dengan demikian Gunung Abang bernama Gunung Cempuluk Bayu/Gunung Tuluk
Biyu, gumuing suci payogan Sang Hyang Siwa.
Rsi
Makandya di Pedukuhan Alas Mahori menjelaskan dalam pertemuan pada Wong Age
Pasek Berjo dengan Wong Bali Mula, asal dari Songan asal putra Empu Kamareka. Rsi Markandya menjelaskan
adanya Purwaka Bali Mula Peyogan Maha Siwa Cintya, pertama Maha Siwa Acintya
dari yoganya menciptakan Putri Keluar dari tulang Ni Cantik Kuning. Yang
disebut Sang Hyang Dewi Uma, Hyang Maha
Siwa Acintya lagi menciptakan Putra dari Yoga Panca Bayu.
Diantara kelima Putra yang paling taat
mentaati dan mematuhi perintah Hyang Maha Siwa Cintya adalah putra yang paling
kecil Sang Perthatjala Siwa. Di pertemukan dengan sang Canting Kuning Sang
Canting Kuning Diberi nama oleh Sang Nama. Sang Perthatjhala Siwa di beri nama
Oeh Sang Siwaya. Pertemuan nama putri dan putra itu disebut Hyang Nama Siwaya,
pelindung dan penyelamat oleh Hyang Maha Siwa Cintya.
B. PENGEMPON
PURA TULUK BIU BATUR
Pengempon
ring Pura Tuluk Biu Batur , Krame Desa Adat Batur Sane Madese ring Pura Tuluk
Biu Batur
Keterangan Denah Pura
1. Gedong
Pelinggih : Ida I Ratu Susunan Sakti
Maduwe
2. Gedong
Pelinggih : Ida I Ratu Bagus Wayan
Manik Cecorong
:
Ida I Ratu Bagus Nengah Manik Sekecap
3. Gedong
Pelinggih : Ida I Ratu Gede
Penyarikan
4. Gedong
Pelingg : Ida I Ratu Gede Pura Mas
5. Gedong
Pelinggih : Ida I Ratu Gede Poseh
6. Gedon
Pelinggih : Ida I Ratu Ayu Kemulan
7. Gedong
Pelinggih : Ida I Ratu Gede Gurun
8. Gedong
Pelinggih : Ida I Ratu Susunan Sakti
Maduwe Gama
9. Meru
Tumpeng Tiga Penyineban Ida Bhatara-Bhatari
10. Meru
Tumpeng Tiga Pelinggih Ida I Ratu Poseh
11. Meru
Tumpeng Lima Pelingih Putran Ida Bhatara-Bhatari Sakti Tuluk Biyu
12. Meru
Tumpeng Sembilan Pelinggih Ida Bhatara-Bhatari Sakti Tuluk Biyu Puri Kaleran
13. Meru
Tumpeng Tujuh Pelinggih Ida Bhatara-Bhatari Sakti Tuluk Biyu Puri Kelodan
14. Bale
Kulkul
15. Padmasana
16. Pelinggih
Ida Ratu Uluning Bale Agung
17. Asta
Dewata
18. Padmasana
19. Meru
Tumpeng Tiga Pelinggih Ida Bhatara Sakti Bujangga Luwih
20. Gedong
Pelinggih Ida I Ratu Ayu Mas Melanting
21. Pelinggih
Ida I Ratu Ayu Bunga
22. Gedong
Pelinggih Putran Ida I Ratu Susunan Sakti Maduwe Gama
23. Gedong
Pelinggih
24. Gedong
Pelinggih Ida I Ratu Gede Bebotoan, Pertiwi Pelinggih Ida I Ratu Gede Pejarakan
25. Gedong
Pelinggih Ida I Ratu Gede Mas Pahit, Pertiwi Pelinggih Ida I Ratu Dalem
Majelekah Majelangu
26. Gedong
Pelinggih Hyang Kubayan, Pertiwi Pelinggih Hyang Ibu Kubayan
27. Apit
Lawang
29. Gedong
Pengayatan
32. Pesamuan Agung
33. Bale Pesepelan
34. Bale Paebat
35. Bale Agung
36. Bale saka Wulu
37. Perantenan
38. Bale Gong
39 – 40. Candi Bentar
41. Bale Kulkul
GEDONG , PELINGGIH, PERTIWI, CANDI, KURI AGUNG YANG
BELUM ADA BANGUNAN
A. Pelinggih
Ida I Ratu Ngurah Subandar
B. Pelinggih
Ida I Ratu Ngurah Pande
C. Pertiwi
Pelinggih Ida I Ratu Kurubing Langit
D. Kuri
Agung dan Candi
E. Gedong-gedongan
F. Bale
Dana Punia
G. Bale
Pesandekan